Barangsiapa beriman dan beramal shalih,
Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, itu kita percaya. Janji
yang membuat kita merinduinya dalam suka duka perjalanan panjang penghambaan
kita kepada Allah. Dalam keyakinan dan kebenaran manhaj dan kelurusan jalan
pulang yang telah kita pilih. Sebab waktu yang tak lagi mungkin kembali
meniscayakan hilangnya ragu meski perih. Dan saat tertatih dalam raga yang
semakin ringkih, kita masih bisa berharap lebih.
Kebaikan yang terjanjikan itu menjadi
penanda kualitas keimanan dan keshalihan kita, juga pembeda dengan mereka yang
ingkar dan durjana. Bukan kenikmatan milik bersama dalam rupa-rupa kelezatan
ragawi semisal pakaian, hidangan, tempat tinggal nyaman, atau pasangan hidup
rupawan. Sebab kesemuanya bisa dinikmati oleh siapa pun yang berpayah-payah
meraihnya. Bahkan saat atribut iman dan keshalihan menghilang darinya, dan
dalam kualitas dan kuantitas yang, bisa jadi, jauh berlipat-lipat. Lalu apakah
gerangan, jajnji suci Ilahi yang khusus untuk hamba-hamba terpilih itu?
Adakah yang lebih baik daripada nyamannya
jiwa saat melangkah di dunia? Ketika ia menemukan keyakinan atas sebuah
pilihan, jawaban atas semua pertanyaan, kekuatan dikala lemah, penyembuhan
ketika sakit tak tertahankan, juga kerinduan akan negeri kekal abadi, nanti.
Ketentraman yang membebaskan sebab ia beroleh kemantapan dan terbebas dari
kebingungan. Meski letih dan payah, sedih dan susah, atau terluka dan kecewa.
Sebab jalan ini berbalut kabut meski ia lurus lempang.
Ya, kebaikan yang tidak menafikan kelaziman
sunatullah. Yaitu adanya proses seleksi atas iman, apakah ia jujur adanya atau
dusta belaka. Hingga kehidupan penuh kebaikan tidak menihilkan berbagai cobaan.
Bahkan ia aka nada sepanjang hidup hamba beriman dan beramal shalih.
Berganti-ganti tanpa henti sebagai bentuk kecintaan Allah atasnya. Sebuah
kenyataan yang alami dan normal, bahwa kita semua memang berbeda dan tidak akan
pernah sama. Sehingga kebaikan dalam janji Allah menampakkan dirinya mengiringi
kenyataan alamiah itu.
Masalahnya adalah cara kita menyambut
kehidupan yang baik itu, sebab secara konsep ia ada dan nyata. Meski
menjanjikan jalan keluar dan kesuksesan dunia akhirat, ia tampak sulit dan
berat bagi yang tidak beriman dan mendamba lezatnya dunia. Hal yang akan
menjadi batu sandungan indahnya kepasrahan sebab bermain-main dengan logika di
atas kendaraan syahwat yang memenjara.hingga akhirnya ketakutan menghadapi
risiko pilihan iman dan menyerah kalah karena kehilangan tenaga.
Maka, mengenali masalah dan
menyelesaikannya secara syari’at dengan hati yang ikhlas dan ringan adalah
kehidupan yang baik itu. Sadar akan apapun risiko yang menghadang, berat
ringannya, mudah sulitnya, banyak sedikitnya, semuanya hanyalah soal bagaimana
mengahirinya dengan proses kesesuaian syari’at secara benar. Sehingga dalam
semua yang terlihat dan terasakan, akan baik-baik saja bagi hamba yang beriman.
Bukankah tidak ada yang bisa melakukan yang
demikian selain hamba yang beriman? Masalahnya apakah iman kita sudah bekerja
dengan formula seperti ini?
Wallahu
a’lam.
0 comments:
Post a Comment