01:55
0
     Barangsiapa beriman dan beramal shalih, Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, itu kita percaya. Janji yang membuat kita merinduinya dalam suka duka perjalanan panjang penghambaan kita kepada Allah. Dalam keyakinan dan kebenaran manhaj dan kelurusan jalan pulang yang telah kita pilih. Sebab waktu yang tak lagi mungkin kembali meniscayakan hilangnya ragu meski perih. Dan saat tertatih dalam raga yang semakin ringkih, kita masih bisa berharap lebih.

    Kebaikan yang terjanjikan itu menjadi penanda kualitas keimanan dan keshalihan kita, juga pembeda dengan mereka yang ingkar dan durjana. Bukan kenikmatan milik bersama dalam rupa-rupa kelezatan ragawi semisal pakaian, hidangan, tempat tinggal nyaman, atau pasangan hidup rupawan. Sebab kesemuanya bisa dinikmati oleh siapa pun yang berpayah-payah meraihnya. Bahkan saat atribut iman dan keshalihan menghilang darinya, dan dalam kualitas dan kuantitas yang, bisa jadi, jauh berlipat-lipat. Lalu apakah gerangan, jajnji suci Ilahi yang khusus untuk hamba-hamba terpilih itu?

    Adakah yang lebih baik daripada nyamannya jiwa saat melangkah di dunia? Ketika ia menemukan keyakinan atas sebuah pilihan, jawaban atas semua pertanyaan, kekuatan dikala lemah, penyembuhan ketika sakit tak tertahankan, juga kerinduan akan negeri kekal abadi, nanti. Ketentraman yang membebaskan sebab ia beroleh kemantapan dan terbebas dari kebingungan. Meski letih dan payah, sedih dan susah, atau terluka dan kecewa. Sebab jalan ini berbalut kabut meski ia lurus lempang.

    Ya, kebaikan yang tidak menafikan kelaziman sunatullah. Yaitu adanya proses seleksi atas iman, apakah ia jujur adanya atau dusta belaka. Hingga kehidupan penuh kebaikan tidak menihilkan berbagai cobaan. Bahkan ia aka nada sepanjang hidup hamba beriman dan beramal shalih. Berganti-ganti tanpa henti sebagai bentuk kecintaan Allah atasnya. Sebuah kenyataan yang alami dan normal, bahwa kita semua memang berbeda dan tidak akan pernah sama. Sehingga kebaikan dalam janji Allah menampakkan dirinya mengiringi kenyataan alamiah itu.

    Masalahnya adalah cara kita menyambut kehidupan yang baik itu, sebab secara konsep ia ada dan nyata. Meski menjanjikan jalan keluar dan kesuksesan dunia akhirat, ia tampak sulit dan berat bagi yang tidak beriman dan mendamba lezatnya dunia. Hal yang akan menjadi batu sandungan indahnya kepasrahan sebab bermain-main dengan logika di atas kendaraan syahwat yang memenjara.hingga akhirnya ketakutan menghadapi risiko pilihan iman dan menyerah kalah karena kehilangan tenaga.

    Maka, mengenali masalah dan menyelesaikannya secara syari’at dengan hati yang ikhlas dan ringan adalah kehidupan yang baik itu. Sadar akan apapun risiko yang menghadang, berat ringannya, mudah sulitnya, banyak sedikitnya, semuanya hanyalah soal bagaimana mengahirinya dengan proses kesesuaian syari’at secara benar. Sehingga dalam semua yang terlihat dan terasakan, akan baik-baik saja bagi hamba yang beriman.

    Bukankah tidak ada yang bisa melakukan yang demikian selain hamba yang beriman? Masalahnya apakah iman kita sudah bekerja dengan formula seperti ini?


Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment