Ada sisi lahir dan batin dalam bangunan
peribadatan kita kepada Allah. Keduanya berpadu membentuk kesatuan utuh dalm
upaya persembahan murni bernama ikhlas dan ittiba’ Rasul sebagai syarat
penerimaannya, serta penihilan adanya kesyirikan yang seringkali licik menyusup
di antaranya. Dalam rupa memesonakan mata meski bangunannya rapuh tanpa isi dan
hampa dari ruh pengabdian. Atau sebaliknya, keikhlasan melenggang sendirian
tanpa bimbingan Sang Utusan, sehingga tampil dalam wujud asing tak
teridentifikasi. Asyik sendiri namun merasa hidayah telah diipegangi.
Padahal ibadah adalah penerimaan dalam
ketulusan hati, bukan perdebatan karena penuhanan akal yang sejatinya terbatas.
Seperti para faqih yang mengambil ibrah dari ciuman Umar bin Khattab atas Hajar
Aswad sebagai bentuk peneladanan kepada Rasulullah. Bahwa ibadah bukanlah yang
paling indah dilihat, paling sesuai ilmu kesehatan, paling sesuai keinginan
nafsu dan akal, atau paling diterima khalayak. Ia, sekali lagi, adalah
penerimaan utus atas konsekuensi keimanan atas Muhammad sebagai sang Utusan.
Sisi lahir dan batin ini membuat kita
bekerja keras menggabungkan keduanya. Meneladani Beliau Shalallahu ‘alaihi
wassalam semirip mungkin secara lahir, namun juga sangat berhati-hati
menjaga batin agar bisa ikhlas sepenuh hati. Nihil dari keinginan memperalat
ibadah kita, juga jauh dari upaya berlaku curang untuk kepentingan dunia yang
fana. Sebab keikhlasan bisa rusak oleh hasrat akan nikmat dunia dan kekuasaan,
seperti ittiba’ bisa rusak karena kejahilan.
Di sisi lain, pemahaman akan konsep lahir
batin ini menyadarkan kita akan wilayah yang tidak bisa kita jangkau; batin
seseorang. Hal yang akan membuat kita tidak pernah bisa memastikan keshalihan
seseorang hanya dari yang tampak terlihat, padahal itulah batas yang bisa kita
raih. Bahwa kita, pada akhirnya, hanya bisa menilai lahiriah seseorang. Meski
sisi positifnya kita tidak bisa juga, meremehkan dan menghina seseorang hanya
dari apa yang kasat mata. Sebab dia lebih baik di sisi Allah sebab dia lebih
bersih hatinya.
Namun yang membuat kita lebih waspada,
konsep ini akan menyadarkan kita akan adanya fenomena kemunafikan. Bahwa ada
musuh-musuh Allah dan islam yang bisa saja terlihat sangat alim, islami dan
tawadhu’, namun menyimpan permusuhan akut pada islam. Merekalah sebenar-benar
musuh namun tidak cukup mudah mengumumkan peperangan kepada mereka. Apalagi
kebanyakan kaum muslimin menganggap mereka saudara sendiri, seibu sebapak, sebahasa,
dan seiman seakidah, padahal bukan. Karena itulah mereka sangat berbahaya!
Namun, secanggih apapun makar mereka, makar
Allah jauh lebih sempurna. Insha Allah!
0 comments:
Post a Comment