Saya
wasiatkan kepada diri saya dan kepada ikhwani fiddin rahimakumullah.
Saudara-saudaraku seiman dan seislam, mari kita berusaha mengisi sisa-sisa usia
kita dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah ta’ala. Antara lain dengan
berusaha mematrikan dalam benak kita masing-masing satu akidah Ahlu Sunnah wal
Jama’ah yang secara ijma’ telah disepakati oleh para ulama salaf dan para Imam
Madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Asy Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hambal.
Keyakinan yang
harus kita patrikan, dan kadang-kadang sering dilupakan orang yaitu:
شَاتِمُ الرَّسُوْلِ يُقْتَلُ
Orang yang mencaci
maki, menghina, melecehkan Rasulullah, mengata-ngatai Rasulullah dengan kata-kata
yang tidak senonoh, bertentangan dan bertolak belakang dengan pribadi beliau
yang mulia dan agung. Maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh.
Seorang Imam
madzhab yang madzhab fiqihnya diterapkan oleh rakyat dan penguasa Arab Saudi
hari ini, Imam Ahmad bin Hambal, beliau menambahkan, “Penghina Rasul
hukumannya adalah dibunuh dan tidak diminta untuk bertaubat terlebih dahulu.”
Orang yang mencaci
maki Rasulullah, menghina Rasulullah, sampai menggambar karikatur yang nadanya
jelas melecehkan, digambarkan dengan orang setengah cebol, kepalanya botak,
berjenggot, hukuman bagi mereka ini adalah dibunuh dan tidak diminta untuk
bertaubat.
Seandainya yang
mengata-ngatai Rasulullah dengan kata-kata yang tidak senonoh mencaci maki
Rasulullah, mewujudkan gambar Rasulullah dalam karikatur yang mengundang orang
untuk mencibir dan tertawa sinis, apabila pelakunya seorang muslim, secara
lahiriah tampil dengan segala atribut keislamannya, celananya cingkrang, rajin
ke masjid, rajin melaksanakan shiyam Ramadhan dan sunnah, rajin membayar zakat,
setiap tahun melaksanakan umrah, tapi orang tadi suka mencaci maki Rasulullah,
kemudian dia bertaubat, lantaran Imam Ahmad telah berkata, “Dia tidak diberi
kesempatan untuk bertaubat,” maka taubatnya tidak menjadi penghalang bagi
seorang penguasa muslim atau pribadi peribadi umat islam untuk membunuhnya.
“Tidak diberi
kesempatan untuk bertaubat,” apa maksudnya? Jenazahnya tidak dimandikan.
Kalau tidak dimandikan, tidak usah disholatkan. Sebelunya, tidak usah dikafani.
Puncaknya tidak boleh dikubur di tempat pemakaman khusus orang beriman.
Sebaliknya, kalau
mencaci maki itu seorang kafir, dan tidak mungkin orang kafir mencaci
Rasulullah kalau dia tidak mengenal Rasulullah, tidak mungkin orang kafir
mencaci Rasulullah kalau dia tidak membenci beliau, maka orang tadi harus
dihukum mati.
Muhammad saw
adalah uswah kita, qudwah kita, orang yang paling dicintai oleh Allah dan
paling mencintai Allah.
Cara menyikapi
mereka yang menghina Rasulullah harus dibedakan dengan orang yang menghina
orang islam selain Rasulullah.
Ikhwani fiddin rahimakumullah
Pelaksanaan
hukuman terhadap para pencaci maki Rasulullah bisa atas perintah imam/pemimpin
umat islam. Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabatnya,
“siapa yang mau menyelesaikan urusan saya dengan ka’ab
bin al-Asyraf? Karena dia telah menghina Allah dan Rasul-Nya”.
Muhammad
bin Maslamah, salah seorang sahabat menjawab, “Aku wahai Rasulullah, apakah
engkau mengiginkan aku membunuhnya?”
“ya,” jawab
Rasulullah. Lalu ia cari Ka’ab bin al-Asyraf, kemudian ia bunuh.
Tetapi pelaksanaan
pembunuhan terhadap orang yang mencaci maki Rasulullah bisa dilakukan tanpa
restu, tanpa izin, bahkan tanpa sepengetahuan Rasulullah.
Kecintaan kepada
Rasulullah harus diletakkan di atas kecintaan kepada ibu dan bapak, harus
diletakkan di atas kecintaan kepada anak-anak, harus diletakkan di atas
kecintaan kepada sanak
saudara, harus diletakkan di atas kecintaan kepada istri
dan kaum kerabat, kepada harta dan perdagangan, dan kepada tempat tinggal yang
dicintai.
Emosi keagamaan
tadi yang telah mendorong seorang sahabat Salim bin Umair ra ketika melihat
salah seorang laki-laki yahudi yang sudah berusia 120 tahun, tapi mulutnya
senantiasa beracun, menebar fitnah dan memjelek-jelekan Rasulullah. Salim bin
Umair berujar, “Ya Allah, saya bernadzar di hadapan-Mu, kalau Allah beri
kesempatan, saya akan bunuh laki-laki yahudi itu.”
Suasana di kota
Madinah suasana musim panas. Banyak orang yang gerah tidur di dalam kamar.
Banyak penduduk yang tidur di beranda, emperan atau teras rumah mereka.
Termasuk laki-laki Yahudi yang berusia 120 tahun yang bernama Mu’afah.
Salim menghampiri
laki-laki itu, ia hunuskan pedangnya, ia hujamkan pedangnya sampai tembus ke
tempat tidurnya. Laki-laki Yahudi itu berteriak. Ia cabut pedangnya. Lalu ia
lari meninggalkan Yahudi tersebut, tanpa ada seorangpun mengetahuinya dan tanpa
ada teguran dari Rasulullah.
Bahkan ada sahabat
lain yang bernama Umair bin ‘Adi membunuh Ashma’ binti Marwan, seorang wanita
yang sudah memiliki anak. Seorang perempuan yang selalu menghina Rasulullah
melalui syair-syairnya yang dilantunkan didepan masyarakat, sehingga
orang-orang ikut melantunkan syair-syair tersebut. Padahal, syair tersebut
berisi hinaan dan cacian terhadap Rasulullah.
Akhirnya wanita
tersebut di bunuh oleh Umair bin ‘Adi. Lalu ia pergi ke masjid untuk
melaksanakan shalat subuh. Setelah Rasulullah selesai mengimami shalat subuh,
beliau mendatangi Umair bin ‘Adi. Beliau bertanya, “apakah kamu telah
membunuh putrinya Marwan?
Gemetar seluruh
tubuh Umair, takut kalau Rasulullah memarahi dirinya. “betul Rasulullah,
saya melakukan itu, semata-mata cinta kepadamu.” Akhirnya berita pembunuhan
itu menjadi rahasia umum di masjid dalam seketika selepas shalat subuh.
Kemudian Rasulullah
bersabda; “kalau kalian ingin melihat laki-laki yang mendapatkan pertolongan
dari Allah dan Rasul-Nya, lihatlah Umair bin ‘Adi.”
Rasulullah tidak
mencaci maki, Rasulullah tidak hanya mengizinkan, tetpi justru mengapresiasi
apa yang telah dilakukan oleh dilakukan Umair bin ‘Adi melalui sabda beliau
tersebut.
Ini bukan masalah
keras dan lunak. Ini bukan masalah radikalis dan bukan radikalis, tetapi ini
aqidah. Ini sebagian keyakinan yang diajarkan oleh islam dan disepakati oleh
ulama salaf, para Imam empat Madzhab.
Hanya orang-orang
yang tidak memegang aqidah ahlu sunnah waljama’ah secara murni dan konsekuen, mungkin
akan berbeda pendapat dengan apa yang saya sampaikan. Penjelasan ini saya
simpulkan dari kitab Sharimul Maslul ‘Ala Syhatimirrasul, yang ditulis
oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah.
Khutbah Kedua
ikhwani fiddin rahimakumullah
Riwayat
kisah yang beredar di masyarakat, disampaikan oleh para mubaligh dalam
pengajian, justru tentang kisah seorang yahudi buta yang duduk di salah satu
perempatan jalan di kota Madinah. Setiap pagi Rasulullah mendatangi wanita itu
dan menyuapi makanan kepada wanita itu, padahal setiap pagi itu pula, saat
Rasulullah menyuapi yahudi tadi, dari mulutnya keluar kata-kata kotor yang
mencaci maki Rasulullah. Sampai tiba hari dimana Rasulullah wafat, pekerjaan
itu dilanjutkan oleh Abu bakar ash-Shidiq. Yahudi buta tadi heran, “yang
menyuapi saya kemarin, berbeda dengan yang menyuapi saya hari ini, siapa kamu?”
“ saya Abu
Bakar.”
“ lalu yang
menyuapi saya kemarin?”
“ yang menyuapi
anda kemarin adalah Rasulullah. Kemarin beliau meninggal. Pekerjaannya saya
yang melanjutkan.”
“ Muhammad menyuapi
saya, dia dengar sendiri caci maki saya kepadanya. Dan dia tidak marah. Justru sabar
dan tetap menyuapi. Kalau begitu saya masuk islam.”
Alangkah indahnya
kisah ini dari satu sisi. Tapi dari sisi yang lain kisah ini harus kita
persoalkan. Mengapa? Tiga belas hari sebelum Rasulullah wafat, Rasulullah sudah
menderita sakit.
Jangankan
menyempatkan diri untuk menyuapi Yahudi yang suka mencaci maki beliau,
menjalankan tugas pokok yang lebih besar, menjadi imam rawatib beliau saja
tidak mampu, dan akhirnya diserahkan hak imam kepada Abu Bakar ash-Shidiq
selama 13 hari.
Di hari Rasulullah
wafat, Abu Bakar dating agak terlambat. Sementara gonjang-ganjing di masjid
Nabawi tentang wafatnya Rasulullah yang sudah dilihat oleh mata kepala
orang-orang yang beriman. Mereka yakin bahwa Rasulullah telah wafat. Hanya Umar
karena cintanya kepada Rasulullah, dia mengatakan bahwa rasulullah tidak wafat.
“siapa yang berani mengatakan Rasulullah telah wafat, maka akan aku penggal
kepalanya!”
Tidak ada
seorang pun yang berani membantah kata-kata Umar. Tetapi hati nurani mereka
semua mengatakan, “Rasulullah telah wafat.” Dan itu hanya tersimpan di dalam
benak mereka. Abu Bakar dating agak terlambat sementara para sahabat lain sudah
berkumpul. Dia masuk ke kamar Aisyah dimana Rasulullah wafat. Tubuk beliau
terbujur dan tertutup oleh selimut.
Dia buka wajah
Rasulullah. Dia kecut dahinya. Dia tutup kembali selimut tadi. Dia kembali
menghadap kaum muslimin. Lalu membaca surat Ali Imran: 144.
“ Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika dia wafat atau di bunuh kamu berbalik kebelakang (murtad).
Siapa yang berbalik kebelakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.”
Umar bin
khottob gemetar, “seakan-akan saya belum pernah membaca ayat ini”. Pencerahan ternyata
datang dari Abu Bakar. Maka, mana mungkin Abu Bakar menyempatkan diri menyuapi
orang Yahudi tadi ketika suasana dalam keadaan segawat dan segmenting itu.
Hari berikutnya,
jenazah Rasulullah belum ada yang memikirkan. Mestinya, hari senin beliau
wafat, segera dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.
Umar belum
menyelasaikan persoalan yang lebih besar dari pada mengurus jenazah Rasulullah
yang harus segera dikebumikan. Apa itu? Kaum muslimin belum mencapai kata
sepakat tentang siapa yang akan mengganti Rasulullah setelah Rasulullah wafat. Abu
Bakar telah disibukkan dengan suasana yang berpotensi untuk timbul perpecahan. Dan
jenazah Rasulullah baru di makamkan pada malam rabu.
Akankah dalam
suasana seperti ini Abu Bakar mengatakan, “izinkan saya sebentar ke pojok
jalan untuk menyuapi seorang Yahudi buta?” taruhlah itu benar, sebuah amal
shalih, tapi amal shalih yang berupa menyuapi Yahudi buta sungguh sangat kecil
nilainya dibandingkan dengan segera menuntaskan masalah ummat dan menghindarkan
mereka dari perpecahan karena terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang
harus menggantikan Rasulullah untuk memimpin Madinah.
Ikhwani fiddin rahimakumullah
Pada intinya,
membunuh orang yang mencaci maki Rasulullah adalah ajaran islam yang di
sepakati oleh ummat. Mulut-mulut ummat dan ulama yang berceloteh bahwa islam
anti kekerasan itu betul. Bahwa islam adalah agama yang anti menumpahkan darah
itu betul. Bahwa islam adalah agama yang santun itu betul. Itu semuanya betul,
tetapi semuanya harus muqtadhal haal, empan papan, disesuaikan dengan situasi
dan kondisinya.
(Ustadz Abdullah Manaf Amin)
0 comments:
Post a Comment