Kita adalah penduduk akhirat, demikian
islam mengajarkannya. Demikian pula ucapan kita saat mendengar ada yang
meninggal dunia. Bahwa kita semua adalah milik Allahdan kepadaNyalah kita semua
akan kembali. Sebuah ucapan pengingat jatidiri yang sering kita dengar dan
ucapkan, namun jarang memberi manfaat maksimal. Banyak yang berubah menjadi
kalimat normative yang dingin dan kaku, tidak mampu menyadarkan dan
menggerakkan pendengarnya.
Maka di dunia ini, kita adalah khalifah
Allah yang sedang mengemban misi suci; memakmurkan dan membaikkan bumi, susul
menyusul dan ganti menggantikan satu dengan yang lain seiring regenerasi di
antara kita. Sebagaimana Allah memaklumkan hal ini di hadapan para malaikat
menjelang penciptaan bapak moyang kita; Adam ‘Alaihi salam. Dan atas misi suci
beribadah kepada Allah inilah, penilaian dilakukan, dan pertanggungan jawab
dipintakan.
Dan inilah kita ini, hidup menjalani takdir
penciptaan sebagai khalifah Allah dengan masa tugas masing-masing yang berbeda,
tanpa pernah kita tahu kapan ia berakhir kecuali informasi umum sekitar 60 atau
70 tahun sebagai masa regular, dengan variasi penambahan dan pengurangan yang
sangat beragam. Terkadang membuat frustasi dalam panjangnya masa menunggu
kepulangan dan hilangnya orientasi kehiduan, namun seringkali mengejutkan saat
ia datang tak terduka sedang kita masih terlena nikmat dunia dan berharap
keabadiannya. Bukankah nikmat yang instan dan sesuai keinginan raga lebih
memikat daripada sesuatu yang nanti dan belum terasakan saat ini?
Namun
ini bukan misi yang mudah dijalani. Penuh onak dan duri yang merintangi, juga
jalan terjal berdebu menciutkan hati. Dan jika kita sendirian, atau minimal
merasa demikian, jelas ia menjadi teramat berat untuk dijalani. Bahkan jika
kita menyadari bahwa gangguan terberatnya seringkali datang dari diri kita
sendiri. Yang yerlena dengan kenikmatan dunia, dan sering lupa bahwa ia tidak
abadi.
Di sisi yang lain, misi ini menjadi sangat
berat saat kita kehilangan kontak dengan negeri asal kita. Membuat kita tidak
siap dengan risiko perjuangan dan takut akan kematian, seiring memudarnya
keyakinan dan menipisnya keimanan. Padahal tanpa hal itu, kesiapan untuk
berjuang, mengalah, menunda, bersabar, memegang prinsip, ataupun berkorban
tidak menemukan pijakan yang kuat, sehingga sangat sulit di tunaikan. Yang
ketiadaan semuanya adalah bencana bagi sebuah perjuangan karena terasa sebagai
sebuah kemustahilan.
Sedang risiko perjuangan sangat tidak bisa
diremehkan. Apakah ia berupa kehilangan; teman, keluarga, jabatan, kesenangan,
juga kesenangan dunia, atau ia bernama peperangan batin karena perbedaan antara
harapan dan kenyataan yang sangat jauh. Belum lagi dengan godaan duniawi yang
sangat dahsyat dan menggiurkan mengepung seluruh penjuru angina. Melahap habis
keimanan dan hanya menyisakan hamba-hamba dunia yang hina sebab mempermainkan
dan menistakan misi suci kita.
0 comments:
Post a Comment